Makassar - Menjelang purple day atau Hari Epilepsi se Dunia 26 Maret setiap tahunnya ini Ibu Eka kembali membagikan ceritanya di media sosial KEI.
Purple Day for Epilepsy Awareness Day atau Hari Epilepsi Sedunia merupakan suatu gerakan internasional yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran mengenai penyakit epilepsi ke seluruh dunia, yang dirayakan setiap tanggal 26 Maret setiap tahunnya dengan memakai atribut berwarna ungu.
Warna ungu adalah refleksi dari bunga lavender yang menjadi lambang internasional untuk epilepsi. Bunga lavender juga memiliki simbol kesendirian, yang mewakili para penyandang epilepsi yang seringkali merasa terisolasi karena kondisi mereka.
Purple Day sebagai tanda menumbuhkan rasa kepedulian kita terhadap penderita epilepsi. Purple Day diharapkan bisa menyadarkan masyarakat untuk tidak mengucilkan penderita epilepsi dan menghapus stigma negatif tentang epilepsi, yang selama ini beredar di masyarakat.
Baca juga:
Aksi Stop Stunting Ala Pemprov Sulsel
|
Sebagaimana diketahui bersama bahwa ibu ini begitu setia mendampingi seorang putra yang akrab disapa Wildan. Anak dari ibu Eka boleh dikatakan sebagai Orang Dengan Epilepsi (ODE). Rabu, 9 Maret 2022.
"Masih berjuang sejak November 2007 hingga November 2021, dari satu macam jenis obat, menjadi 14 macam obat hingga kini kembali minum satu jenis obat, dari yang awalnya saat bayi tidak apa-apa hingga kejang hebat dan mengalami stroke, tics, koma, hilang all memori lalu kini kembali seperti semula, " tulis Eka. Rabu (9/3/2022).
Lanjutnya, itu bukan hal yang mudah dijalani, sungguh membutuhkan perjuangan proses yang amat panjang dan melelahkan.
"Saya pun dulu selalu bertanya pada dokter, anak saya bisa sembuh ngga Dok? Keluarga tidak ada yang epilepsi, kenapa anak saya bisa epilepsi Dok? Itu pertanyaan yang selalu saya tanyakan diawal-awal mengetahui anak saya di vonis epilepsi, apalagi saya dulu tinggal di desa, dan sangat awam tentang sakit epilepsi itu, ditambah hanya mempunyai telepon genggam jadul ngga bisa untuk internetan, jauh dari orang tua serta sanak saudara, semakin lengkap sudah sedihnya perasaanku saat itu, " urainya.
Berawal di bulan November 2007, sepuluh hari setelah campak tiba-tiba tengah malam anak saya demam, saat itu baru 10 bulan usianya, tak ada suami karena beliau dinas malam, jam 02.00 dini hari, Eka ibu dari Wildan pun berteriak-teriak sekencang-kencangnya diteras meminta pertolongan sambil menggendong bayinya yang kejang dan sudah membiru. Perasaan panik, takut, campur aduk tak karuan kalau-kalau ia tiada.
Eka menuturkan, untunglah tetangganya berdatangan sesegera mungkin membantu ke Rumah Sakit. "Dokter bilang nggak apa-apa, bayi biasa kejang jika demam, " tuturnya.
Ibu Eka kembali menuturkan, pada bulan Desember 2007 anaknya kembali kejang padahal tidak demam, tapi hanya tersedak makanan disaat sedang disuapin, lantas dokter menyarankan EEG dan alhasil Wildan divonis epilepsi
"Melihat kenyataan itu, rasanya menolak tak percaya, itulah yang saya alami, banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab dokter hingga akhirnya saya "pasrah" menerima semua itu sebagai " ujian" dan berusaha sebaik mungkin merawat sibuah hati, " urai Eka.
Sambungnya lagi, bayiku diberikan obat Dilantin oleh dokter spesialis anak, lalu diawal tahun 2009 berganti dokter ke spesialis dokter syaraf anak (beda RS), obat dilantin dihentikan dan diganti dengan Trileptal dosis 0.5 ml, tapi karena hampir setiap bulan kejang, obat ditambah lagi dengan Depakene dosis 0.5 mili liter, tapi tak ada hasil maksimal, kejang terus berulang tidak mengenal waktu baik itu pagi, siang, sore bahkan tengah malam lalu ditambah lagi dgn topamax sprinkle.
"Entah, sudah berapa ratus kali anak ku kejang, sampai di bulan Agustus tahun 2015 kejang berulang-ulang dalam kurung waktu 1 jam, kejang sebanyak 14 kali, kemudian hanya selama 1 detik sadar lalu bermenit-menit kejang, sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit tak terhitung berapa kali kejang dipangkuan, " bebernya.
Hingga akhirnya ia dinyatakan koma, saat itulah 14 macam obat diberikan padanya, namun tak ada respon sama sekali, Lekosit saat itu 38.000 sampai akhirnya dokter "angkat tangan" dan mengatakan "maaf bu, jika sampai besok pagi belum ada kemajuan terpaksa akan diambil sumsum tulang belakangnya.
"Inilah titik dimana saya benar-benar pasrah, hingga terucap kata " Ya Allah jika Engkau mau mengambil anakku maka ambillah, tapi jika Engkau msh memberiku kesempatan untuk merawatnya, maka berikanlah keajaiban untuknya, " ungkapnya dalam doa.
Alhamdulillah, sesaat sebelum dokter mengambil sumsum tulang belakangnya, anakku bangun, ia sadar meskipun kehilangan semua memorinya. Dirinya tak mengenal ibunya sendiri, tak mengenal siapapun, satu kata yang terucap darinya. "Fabiayyi ala Irabbikuma tukadziban". Sungguh sebagai ibu yang melahirkan, hati ini bergetar saat itu. "Saya menangis mengingat apa yang saya ucapkan semalam, jika Allah berkehendak "kun fa ya kun, " tulisnya.
Sebagai ibu berjuang dari titik nol, sedikit demi sedikit mengajarkan kembali mulai dari huruf A sampai dengan Z, angka 0 sampai 10, memberikannya foto-foto agar mengingat kembali. Bahkan setelah pulang kerumah pun, ia lupa apa itu rasa lapar dan haus, jika ditawari ia tidak pernah meminta. Saat memori kembali ia juga terkena stroke diseluruh anggota tubuh bagian kiri, bahkan ia tak bisa menelan makanan, selalu ngeces, jari tangan sama sekali tak bisa digerakkan hingga, setelah melakukan serangkaian terapi dan mulai ada pergerakan dianggota tubuh yang terkena stroke, akhirnya ia pun terkena tics (syndrom tourens) seluruh anggota tubuh bagian kiri bergerak tiada henti
Saat bertanya pada dokter bisa sembuh atau tidak tics nya, beliau hanya mengatakan, "bisa ya bisa tidak, jika tics sudah komplek akan sulit disembuhakan"
Tapi sekali lagi Allah menunjukkan keajaibannya, saat sudah mulai takbiratul ikhram seluruh anggota badan yang bergerak tak terkendali itu "berhenti" ia sangat tenang saat sholat hingga salam. Namun setelah selaesai salam tics akan muncul kembali bergerak tiada henti.
Dan kini setelah melakukan serangkain terapi, dalam kurun waktu 4 bulan, stroke dan tics sudah sembuh, kejang terakhir bulan Agustus 2017, setelah 2 tahun tidak kejang. Pada tahun 2019 obat trileptal dan depakene perlahan diturunkan dosisnya hingga dihentikan di tahun 2021 dan topamax pun perlahan mulai dikurangi minumnya, biasanya sehari 2 kali, menjadi sehari sekali dan mulai tanggal 21 Oktober 2021 topamax diminum 2 hari sekali.
Dan di bulan Januari 2022 adalah EEG yang ke 16 kali, EEG kembali dilakukan mengingat sudah 4.5 tahun tidak kejang, hasil EEG pun lebih membaik dari tahun-tahun sebelumnya, saat itu dokter mengatakan jika gelombang epilepsi tinggal sedikit lagi, sehingga dalam kurun waktu 3 bulan kedepan jika tidak kejang maka obat topamax dihentikan.
"Namun, sekali lagi rupanya kami harus lebih bersabar Sabtu 26 Februari 2022 siang, anak saya kembali kejang setelah mendadak demam tinggi dengan suhu mencapai 40 derajat, ia kejang saat tidur dan sedang dikompres, kami pun segera membawa ke RS, sampai di IGD langsung diberikan penurun panas lewat injeksi, oleh suster langsung di swab dan dinyatakan positif omicron, " tulis Eka, ibu hebat ini.
Disela-sela isoman ia pun tetap bersemangat mengikuti PTS yang diselenggarakan secara online dari tanggal 7 sampai dengan 16 Maret 2022.
Kejang bukan berarti hilang keajaiban, kita harus yakin setelah kesulitan ada kemudahan. Percayalah, keajaiban itu slalu ada, dan akan datang di waktu yang tepat, tetap semangat sahabat KEI, disiplin minum obat, istirahat cukup, makan tepat waktu dan selalu optimis bahwa epilepsi bisa disembuhkan, jika bukan hari ini, mungkin nanti, insha Allah.